Logo Kabupaten Wajo |
Sulselexpose.id.Wajo--Sejarawan Anthony Reid berpendapat bahwa Wajo
memiliki bukti paling kuat untuk pelembagaan hak-hak kebebasan bila
dibandingkan dengan masyarakat pra-modern Asia manapun. Naskah-naskah Wajo
selalu menekankan bahwa "orang-orang Wajo itu merdeka", dan bahwa
tuan mereka hanyalah hukum adat yang didasarkan pada kesepakatan bersama.
Konsep "hak-hak kemerdekaan Wajo" mencakup, antara lain: jaminan
keselamatan pribadi dan kepemilikan,
akses terhadap keadilan, serta kebebasan untuk berpendapat, bergerak, dan membuat
kontrak Dalam sumber-sumber Wajo disebutkan bahwa hak-hak
kemerdekaan ini adalah adat turun-temurun yang sudah demikian adanya,sehingga seorang arung matoa sekalipun
tidak boleh menentangnya. Ketika seorang arung matoa dilantik,
ia juga mesti bersumpah untuk menjaga hak-hak ini. Walaupun begitu,
hak-hak "kemerdekaan" ini memiliki batasan dan tidak berlaku
sepenuhnya bagi seluruh masyarakat Wajo. Kalangan budak tidak memiliki hak yang
sama dengan kalangan orang merdeka, apalagi kalangan ningrat.
Secara garis
besar, masyarakat Bugis dahulu terbagi ke dalam tiga golongan: 1) bangsawan
atau ningrat, 2) orang merdeka, dan 3) budak. Golongan-golongan ini bukanlah
kasta turun-temurun dengan batas-batas yang jelas, karena pernikahan tidak
dibatasi sesama golongan (endogami) saja. Seseorang dapat
diperbudak sebagai hukuman akibat kejahatan atau karena tidak mampu membayar
utang. Perbudakan dapat bersifat turun-temurun; anak dari sepasang budak akan
dianggap budak pula. Seorang budak yang dibebaskan akan menjadi orang merdeka,
dan siapapun yang memiliki ayah orang merdeka juga akan dianggap sebagai orang
merdeka.
Golongan
ningrat secara teori mencakup siapapun yang memiliki "darah putih".
Hanya saja, karena pernikahan dapat terjadi lintas golongan, dan nasab diturunkan secara bilateral (dari kedua orang tua),
masyarakat Bugis mengembangkan penggolongan sosial yang kompleks, berdasarkan
seberapa murni "darah putih" yang dimiliki oleh seseorang. Tingkat
tertinggi disebut sebagai anaʼmatola ('putra-putri mahkota'),
yang mencakup orang-orang dengan kemurnian darah tertinggi, termasuk di
antaranya para arung matoa dan anggota Petta Ennengngé.
Di bawah mereka, ada golongan anakarung ('anak penguasa'),
yang mencakup bangsawan-bangsawan rendah, termasuk di antaranya para arung atau
penguasa negeri-negeri bawahan Wajo. Kedua golongan ini dianggap sebagai bagian
dari kalangan ningrat. Tingkat berikutnya disebut tau décéng ('orang
baik-baik'), yaitu golongan rakyat biasa yang masih memiliki sedikit darah
bangsawan, setingkat di atas kalangan tau maradéka ('orang
merdeka') atau tau sama ('orang setara'). Golongan ata atau
budak, baik yang turun-temurun maupun akibat dihukum, berada di posisi paling
bawah
Sumber
: Wikipedia bahasa Indonesia