MAKASSAR-Maraknya jajak pendapat (polling) secara daring melalui media sosial menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) termasuk pemilihan bupati di beberapa daerah di Sulawesi Selatan (misalnya di Pilbupwa atau Pemilihan Bupati Wajo) ditanggapi oleh Andi Sri Wulandani, S.IP, M.Hum. Direktur Lembaga Kerja Penelitian Publik dalam posisinya sebagai seorang peneliti dengan mengatakan hal ini sebagai sesuatu yang fatal jika ada responden yang mengisi persepsi di luar populasi.
"Polling yang beredar di media sosial cenderung digunakan untuk menangkap opini cepat atau fast response para pengguna medsos mengenai kandidatnya. Namun untuk megukur keterpilihan tidak dapat dijadikan sebagai rujukan ilmiah karena pengambilan sampelnya tidak jelas apakah representasi dari populasi masyarakat Wajo, karena semua pengguna medsos bisa mengakses link-nya," demikian Andi Sri Wulandari berbicara kepada kontributor Abdul Wahab Dai melalui sambungan telepon pagi ini (Rabu, 17 Juli 2024).
"Jajak pendapat atau polling yang kredibel harus melaporkan margin kesalahannya, jumlah sampel atau respondennya, metode pemilihan sampelnya dan kriteria populasinya. Nah, hanya survei yang memiliki pertanggungjawaban seperti itu. Polling tidak!" ujar mantan Ketua KPU Kabupaten Soppeng ini.
"Untuk menjaga presisinya, polling cenderung hanya bisa dilakukan di grup kecil misal di kelas atau kelompok dan di grup percakapan WhatsApp dengan responden yang jelas jumlahnya. Untuk populasi yang sangat besar, sebaiknya menggunakan survei dengan pemilihan sampel menggunakan Rumus Slovin," lanjut Andi Sri Wulandani.
Wulandani menutup perbincangan dengan mengatakan,"Mana yang lebih ilmiah? Polling atau survei? Survei itu penelitian. Tentu survei lebih ilmiah," kunci alumnus Fisip Unhas ini.*
